Jumat, 20 April 2012

Memihak Orang Miskin, Memihak Keadilan

Personal News Magazine -Kabupaten Garut menjadi daerah di Jabar yang memiliki persentase terbesar dalam hal tingkat kemiskinan anak dengan angka 85,5 persen. Posisi kedua hingga kelima ialah Tasikmalaya (80,15%), Cianjur (75,60%), Cirebon (75,3%), dan Sukabumi (72,24%).

Hal tersebut diungkapkan Nina Djustiana, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender dan Anak (P3GA) LPPM Universitas Padjadjaran (Unpad) , Kamis (19/4) di Kota Bandung.

Menurut dia, tingkat kemiskinan itu dilihat dari sudah atau belum terakomodasinya berbagai keperluan anak yang menunjang tumbuh kembangnya. "Ini terkait dengan program Kota/Kabupaten Layak Anak (KKLA). Model KKLA di Provinsi Jabar ini masih cenderung berkutat di kebutuhan sekunder," katanya.

Nina menjelaskan, di Jabar sudah ada 16 kota/kabupaten yang diprogramkan untuk menjadi KKLA. Namun dia menyayangkan karena program itu belum dilengkapi deskripsi yang jelas tentang tupoksi bagi OPD (Organisasi Perangkat Daerah) atau SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). "Koordinasi dan mekanisme pertanggungjawabannya belum jelas," ujarnya.

Selain itu, proyek percontohan KKLA di Jabar, belum linear dengan peningkatan kesejahteraan anak. Beberapa KKLA yang menjadi proyek percontohan itu antara lain Kab. Bogor, Kab. Bandung Barat, Kab. Bandung, Kota Depok, Kab. Sumedang, dan Kab. Karawang.

"Nyatanya tingkat kemiskinan anak di Kabupaten Bogor masih 56,64 persen dan Kabupaten Sumedang 53,23 persen. Lalu, keberhasilan dan kekurangan program percontohan di daerah tadi, belum menjadi acuan standar pengembangan program tersebut di daerah lain," katanya.

Menanggapi hasil penelitian itu, Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Prov. Jabar, Ny. Netty Prasetyani Heryawan, berharap, para peniliti tidak hanya memaparkan data dan teorinya saja.

"Namun juga disertai solusi dan pemecahannya. Kalau penelitian seperti itu, sudah banyak dan berkutat di teoritisnya saja," ujarnya.

Tingkat kemiskinan anak yang diungkapkan dalam data tersebut, juga tidak bisa digeneralisasi. "Penelitian ini kan hanya ambil sampel saja. Misalnya, kalau yang diambil sampel hanya sebuah kecamatan di Garut lalu muncul angka tadi, itu tidak bisa digeneralisir bahwa seluruh Garut tingkat kemiskina anaknya seperti angka tadi," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Netty juga menyampaikan terima kasih atas teguran ILO (International Labour Organization atau Organisasi Buruh Internasional di bawah PBB) kepada Jabar terkait banyaknya jumlah pekerja anak. "Bagi kami, itu masukan yang menjadi pelecut agar kami bekerja lebih baik," ujarnya.

Netty pun mengakui jika jumlah pekerja anak di Jabar lebih banyak dari provinsi lain di Indonesia. Namun itu tidak lepas dari posisi Jabar sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia yang mencapai 44 juta jiwa.

"Itu sebabnya, dilihat dari sisi jumlah pasti besar. Namun kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk total, Jabar mungkin provinsi yang jumlah pekerja anaknya paling rendah dari sisi prosentase," katanya.

Dia pun membeberkan, masih ada beberapa kebocoran di aparat Jabar yang berujung pada banyaknya jumlah pekerja anak.

"Temuan kami, ada anak umur 14 tahun yang bisa berangkat dan bekerja ke Singapura. Itu berarti ada kebocoran. Inilah tantangan kita bersama antara provinsi, kota, kabupaten dan aparat terkait, untuk memperbaikinya," katanya.

Banyaknya pekerja anak dari Jabar itu, kata Netty, berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan daerah asal si anak. Pasalnya, itu berkaitan dengan prinsip ekonomi.

"Ada demand (permintaan-red.) dan ada supply (pasokan-red.). Selama permintaan masih tinggi dan suplainya ada, tentu saja akan terus meningkat. Nah, untuk memutus mata rantai tersebut, salah satu cara terampuh ialah pendidikan informal dan formal. Orang yang berpendidikan, maka rasionalitasnya lebih baik dan punya cita-cita atau harapan yang lebih tinggi," katanya.